Tajuk

Indonesia Tak Akan Maju

Melihat Indonesia, saya teringat satu obrolan singkat dengan seorang teman suatu ketika. Ia bilang, Indonesia itu tak akan maju. Wilayah Indonesia itu terlalu besar,” katanya. Ia mengutip pernyataan dosennya di kelas.

Mendengar itu saya cuma diam. Saya mengingat kembali banyak pernyataan-pernyataan lain, dalam film atau buku bahwa dalam beberapa tahun mendatang Indonesia akan menjadi salah satu negara besar di Asia, bahkan dunia. Sederhananya Indonesia akan menjadi negara maju. Itu wajar, sebab Indonesia adalah kaya akan sumber daya alam.

Sejak banyak mendengar berbagai isu korupsi di Indonesia, saya memang tak pernah benar-benar optimistis melihat masa depan Indonesia. Kalau memang toh Indonesia hari ini lebih baik dari sebelumnya, ya sekali lewat saja. Sekelebat. Tak lebih dari sebuah kabar gembira. Faktanya, tak ada yang benar-benar maju.

Dalam penanganan korupsi, dalam data Indeks Persepsi Korupsi yang dikeluarkan Transparency International, sebuah lembaga antikorupsi Internasional pada 2016, mencatat Indonesia berada di peringkat 90 dari 176 negara sebagai negara yang bebas dari korupsi. Artinya, Indonesia masih tak bisa dikatakan bersih dalam penanganan korupsi. Indonesia jauh tertinggal dari beberapa negara di Asia Tenggara lain, seperti Malaysia di peringkat 55 atau Brunei yang berada di peringkat 41. Lebih-lebih dengan Singapura yang menjadi negara paling bersih dari korupsi se Asia yang berada di peringkat ke tujuh.

Melihat korupsi di Indonesia ini, kamu akan melihat sebuah rantai panjang yang tak akan tahu ujungnya, dalam dan mengakar. Di pemerintahan, kamu akan menemukannya sampai tingkat paling kecil di desa. Di sektor pendidikan, kamu akan menemukannya di kampus-kampus di kampus, lembaga-lembaganya, hingga organisasi-organisasi kemahasiswaan yang hanya melibatkan para mahasiswa.

Belum lupa kasus yang melibatkan Rektor Universitas Neger Jakarta (UNJ), Djali, dan dugaan maladministrasi yang dilakukannya beberapa waktu lalu? Selain dituduh melakukan tindak plagiat, Djali juga diduga melakukan tindak maladministrasi dengan jabatannya sebagai rektor. Ia melakukan nepotisme hingga meluluskan jumlah doktor dalam rasio yang tak masuk akal (baca UNJ).

Kondisi itu diperburuk dengan lemahnya penegakan hukum dari  lembaga hukum. Mulai dari kepolisian, lembaga peradilan, hingga mahkamah tinggi negara. Bahkan, mereka-mereka yang terlibat dalam kasus korupsi adalah dari lembaga penegak hukum negara. Suap Akil Mochtar, kasus rekening gendut calon tunggal Kapolri Budi Gunawan, hingga yang terakhir dengan bebasnya Setya Novanto dari status tersangka korupsi proyek KTP-E telah mengindikasikan buruknya penegakan hukum di Indonesia.

Hasil survey Indonesia Legal Roundtable (ILR) pada 2013 mencatat buruknya Indeks Perspepsi Negara Hukum Indonesia. Dalam survey itu, indeks persepsi masyarakat terhadap hukum di Indonesia adalah 4,53 persen dari skala 1-10. Angka itu, menunjukkan rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadpa hukum di Indonesia. Survey juga menunjukkan bahwa 60 persen masyartakat masih menganggap lembaga peradilan negara belum bersih dari suap.

Di kehidupan sehari-hari kamu akan menemukan rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap hukum. Kamu akan malas melaporkan kehilangan kendaraanmu ke polisi karena sudah tentu, selain akan panjang urusannya dan banyak mengeluarkan banyak energi, motormu belum tentu akan kembali. Apalagi hanya kehilangan gadget atau laptop di kosan. Dan sialnya, main hukum sendiri yang akhirnya menjadi jalan terakhir yang bisa dilakukan masyarakat malah mendapat nyinyiran netizen. Konon itu menunjukkan simbol masyarakat bar-bar dan tak beradab. Tai kan?

Di Isu HAM, kamu isu-isu rutin yang pasti akan ramai di media sosial pada tanggal atau bulan tertentu. Di Januari, kamu akan diingatkan kasus Malari tahun 76. Mei, tentu saja kasus penculikan para aktivis. September, penumpasan orang-orang yang dituduh PKI. Belum isu-isu lain seperti kekerasa Tanjung Priok, Talang Sari, hingga kekerasan yang dilakukan para penegak hukum dalam beberapa kasus teranyar seperti pembangunan pabrik Semen di Kendeng, Rembang. Perampasan tanah petani di Lampung. Itu adalah beberap isu yang ramai di media sosial, dan sungguh sangat bikin jemu. Beberapa teman saya kini meninggal salah satu media sosial seperti Fesbuk karena terlalu ramai isu-isu seputar sosial politik itu.

Saya kira Indonesia hanya sedikit lebih beruntung dari negara-negara di Timur Tengah yang hancur karena perang sipil dan militer. Tapi kondisi macam itu belum tentu tidak terjadi di Indonesia, jika melihat beberapa aksi bela agama yang melibatkan hingga ratusan ribu bahkan hingga jutaan masyarakat. Kamu tentu tahu, agama adalah ruang yang sangat sensitif di Indonesia.

Beberapa orang, karenanya ada yang melihat persoalan agama itu itulah yang membuat Indonesia tak akan pernah bisa maju. Mereka mungkin membandingkannya dengan negara-negara Eropa yang maju karena sudah meninggalkan diktum gereja sejak berabad-abad silam.

Maaf saya memang terlalu pesimis melihat negara saya. Saya kini sudah tak percaya doktrin-doktrin cinta atau bela negara. Bagi saya doktrin macam itu adalah ilusi yang pada akhirnya diambil sebagai jalan terakhir untuk melindungi kekuasaan. Saya teringat ucapan seorang guru saya soal ini, “Teruslah bekerja. Jangan berharap pada negara”.

Standar

Tinggalkan komentar